Efisiensikah sistem poin dalam peraturan sekolah ?
Telah kita ketahui bahwa hampir semua sekolah tingkat
menengah hingga atas menerapkan sistem poin dalam mengatasi tindak pelanggaran
yang dilakukan siswa. Dimana sekolah menggunakan sistem poin sebagai tindakan
preventif dan represif bagi siswa yang melanggar peraturan sekolah. Sistem poin
sebagai tindakan preventif artinya sistem poin digunakan untuk mencegah siswa
melakukan pelanggaran yang lebih jauh lagi, sedangkan sistem poin sebagai
tindakan represif artinya sistem poin itu digunakan untuk menyadarkan siswa
bahwa tindakan yang dilakukannya itu salah.
Namun ketika kita lihat praktek di lapangan, poin dijadikan
sebuah tolak ukur seberapa jauh kita telah melanggar peraturan sekolah dan pada
jumlah poin tertentu kita akan mendapat sanksi yang ‘sebenarnya’. Disini kita
patut mempertanyakan efisiensi dari sistem poin tersebut. Jika siswa memiliki
keasadaran tinggi dan rasa malu jika melakukan pelanggaran, pastinya tidak akan
ada sistem poin. Jika dilihat dari sudut pandang sekolah, sistem poin dibuat
untuk toleransi kepada siswa yang melanggar. Sistem poin tersebut menjadi
semacam “gertakan” kepada siswa agar tidak mengulangi pelanggaran yang telah
diperbuat. Poin dijadikan semacam kesempatan kedua untuk para siswa yang
melakukan pelanggaran.
Dalam prakteknya, Penggunaan sistem poin juga ditakutkan
tidak dapat di jadikan sebuah patokan siswa yang melakukan pelanggaran, contoh
kasus dikeluarkannya siswa SMA 70 karena melakukan bullying kepada
teman-temannya. Kebijakan mengeluarkan 13 orang siswa
kelas XII SMAN 70, Bulungan, Jakarta Selatan, akibat dugaan bullying,meresahkan
siswa-siswa lainnya.
"Kini siswa resah, tidak bebas berekspresi seperti dulu. Karena sedikit saja mereka berbuat salah, khawatir terkena poin dan terancam dikeluarkan," ungkap Ketua Pengurus Komite SMAN 70 Ricky Agusiady di Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2014).Sebagai informasi, di antara 13 siswa yang dikeluarkan, terdapat di antaranya ketua OSIS dan siswa berprestasi lainnya. Hal ini lantas dinilai dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan siswa lainnya."Ketua OSIS saja bisa dikeluarkan, apalagi saya? Kan begitu anak-anak mikirnya," ujar Ricky.Keresahan tersebut, lanjut dia, terlihat dari menurunnya minat belajar dari para siswa. Tak hanya kegiatan yang sesuai kurikulum, kegiatan ekstrakulikuler (ekskul) pun juga mengalami menurunan."Semua kegiatan ekskul divakumkan. Ini akan membuat pertanyaan dan merugikan 1.000 siswa lainnya," ujar dia.Seribu siswa yang dimaksud Ricky adalah total siswa SMAN 70 lainnya yang terdiri dari kelas X, XI, dan XII. Diasumsikan satu angkatan memiliki jumlah siswa lebih dari 300 siswa, sehingga tiga angkatan berjumlah sekitar 1.000 siswa. Menurut Ricky, banyak siswa yang merasa terintimidasi dengan sistem poin. Apalagi dengan dikeluarkannya sejumlah siswa dengan sistem tersebut. "Komite Sekolah juga mendapat laporan ada beberapa anak yang tidak kuat dan ingin keluar dari SMAN 70," kata dia. Maka, menurut Ricky, harusnya ada komunikasi antara pihak sekolah dengan 1.000 siswa lainnya. "Ini demi siswa SMAN 70 bisa berekspresi dan berprestasi lagi," tandas dia.
"Kini siswa resah, tidak bebas berekspresi seperti dulu. Karena sedikit saja mereka berbuat salah, khawatir terkena poin dan terancam dikeluarkan," ungkap Ketua Pengurus Komite SMAN 70 Ricky Agusiady di Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (29/9/2014).Sebagai informasi, di antara 13 siswa yang dikeluarkan, terdapat di antaranya ketua OSIS dan siswa berprestasi lainnya. Hal ini lantas dinilai dapat menimbulkan kekhawatiran di kalangan siswa lainnya."Ketua OSIS saja bisa dikeluarkan, apalagi saya? Kan begitu anak-anak mikirnya," ujar Ricky.Keresahan tersebut, lanjut dia, terlihat dari menurunnya minat belajar dari para siswa. Tak hanya kegiatan yang sesuai kurikulum, kegiatan ekstrakulikuler (ekskul) pun juga mengalami menurunan."Semua kegiatan ekskul divakumkan. Ini akan membuat pertanyaan dan merugikan 1.000 siswa lainnya," ujar dia.Seribu siswa yang dimaksud Ricky adalah total siswa SMAN 70 lainnya yang terdiri dari kelas X, XI, dan XII. Diasumsikan satu angkatan memiliki jumlah siswa lebih dari 300 siswa, sehingga tiga angkatan berjumlah sekitar 1.000 siswa. Menurut Ricky, banyak siswa yang merasa terintimidasi dengan sistem poin. Apalagi dengan dikeluarkannya sejumlah siswa dengan sistem tersebut. "Komite Sekolah juga mendapat laporan ada beberapa anak yang tidak kuat dan ingin keluar dari SMAN 70," kata dia. Maka, menurut Ricky, harusnya ada komunikasi antara pihak sekolah dengan 1.000 siswa lainnya. "Ini demi siswa SMAN 70 bisa berekspresi dan berprestasi lagi," tandas dia.
Melihat kasus diatas dinilai tidak tepat sasaran karena memang ada beberapa
siswa yang berprestasi juga ikut terlibat, hal ini dikarenakan sistem poin yang
mengakumulasi kesalahan kecil yang membuat batasan poin yang didapatkan telah
melampaui batas. Oleh
karena itu, kita harus selalu memantau efisiensi kinerja sistem poin yang ada
di setiap sekolah. Bila sistem poin tidak berjalan sesuai dengan tujuannya,
sia-sia sudah kita telah menguras tenaga kita untuk membentuk sistem poin. Maka
sia-sia sudah kertas yang digunakan untuk mencatat poin yang diterima siswa.
Jadi, walaupun siswa mendapat poin, guru harus tetap memberi sanksi tetapi
dengan mempertimbangkan alasan mengapa mereka melakukan pelanggaran itu dan
menciptakan situasi yang tidak memungkinkan seorang siswa untuk melakukan
pelanggaran.
Aturan dalam lingkup
sekolah
Peran sekolah sebagai
lembaga pendidikan memiliki peran sentral dalam perkembangan yang ada pada
peserta didik, di mana sekolah dijadikan lingkungan menuntut ilmu dan juga
pembentukan moral peserta didik agar lebih baik saat di dalam masyarakat. Pendidikan yang didapat di sekolah merupakan
sebuah proses bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh pendidik, dengan
tujuan supaya terbentuk keperibadian yang unggul. Keperibadian yang unggul ini
memiliki makna yang cukup dalam, yaitu pribadi yang bukan hanya pintar secara
akademis tapi juga baik secara karakter (Ahmad D. Marimba). Dalam rangka
meningkatkan standar moral bangsa yang dinilai makin menurun, sekolah-sekolah
mulai gencar meggalakkan pendidikan karakter bagi siswa-siswinya dengan
menerapkan berbagai macam aturan di dalam sekolah. Peraturan sekolah berarti
suatu tatanan atau kebijakan yang dibuat untuk mengatur sesuatu hal yang
dianggap menyimpang. Harapannya di sekolah tersebut semua anggota yang berada
di lingkungan sekolah khususnya murid dapat menaati aturan dengan tertib,
sesuai dengan peraturan yang berlaku dan sudah dibuat atas dasar kesepakatan
bersama.
Peraturan sekolah disini lebih mengarah ke
kedisiplinan karena disiplin merupakan salah satu kesadaran diri yang muncul
dari batin untuk mengikuti dan menati peraturan-peraturan,nilai-nilai, dan
hukum yang berlaku dalam suatu lingkungan sekolah. Dalam mendidik, disiplin
berperan mempengaruhi, mendorong, mengendalikan, mengubah, membina, dan
membentuk perilaku siswa sesuai dengan nilai-nilai yang sudah ditanamkan
tentunya agar siswa menjadi pribadi yang baik dan berguna juga dilingkungan
masyarakat. Proses dari pendisiplinan itu dapat dilakukan dengan cara membuat
aturan-aturan yang telah disepakati bersama di area atau lingkungan sekolah.
Aturan sekolah itu sendiri harus berisi
dengan hal-hal yang baik dan membangun. Dengan demikian bisa membuat siswa
menjadi termotivasi untuk melakukannya, sehingga lama kelamaan hal tersebut
akan menjadi kebiasaan yang baik bagi para siswa. Untuk itulah penerapan sistem
poin sebagai cacatan perilaku peserta mulai digunakan sebagai sebuah cara untuk
menertibkan peserta didik yang “nakal” di lingkungan sekolah.
Ini diharapkan dapat
menunjang proses belajar mengajar dengan situasi yang kondusif. dan nyaman diharapkan dapat meningkatkan
prestasi belajar siswa. Pelaksanaan pendidikan karakter siswa
dikemas melalui pembuatan poin pelanggaran tata tertib siswa dan dikendalikan
oleh tim tata tertib sekolah yang bekerja sesuai alur penanganan dan pemberian
sanksi bagi siswa yang melanggar tata tertib yang sudah tertata sedemikian
rupa. Hal tersebut akan memudahkan kerja tim tata tertib sekolah sekaligus jika
ada siswa yang belum memahami isi tata tertib sekolah dengan sendirinya akan
segera paham, sebab siswa terlibat langsung dalam penulisan skor poin
pelanggaran yang dilakukannya.
Aturan sebuah ketakutan
peserta didik
Peraturan sekolah yang
menggunakan sistem poin dalam penegakannya merupakan salah satu solusi atau
cara yang dilakukan oleh sekolah untuk menciptakan suasana tertib dalam
sekolah. Dengan harapan terciptanya seorang individu yang memiliki karakter dan
moral yang baik saat di dalam masyarakat. Secara umum penerapan sistem poin
yang diterapkan disekolah mengalami peningkatan dalam hal kedisiplinan. Batasan yang diberikan masing-masing
dengan sanksi dikeluarkan dari sekolah membuat siswa menjadi takut untuk
melanggar peraturan. Biasanya batasan yang diberikan oleh pihak sekolah untuk
masing-masing siswa adalah 100. Setiap aturan mempunyai poin tersendiri ketika
terjadi pelanggaran, tergantung kapasitas pelanggaran tersebut. Bisa kecil,
sedang bahkan berat.
Walaupun terjadi perubahan terhadap tingkah
laku dari siswa di dalam sekolah. Pembuatan aturan-aturan yang menjadi sebuah
pedoman bertingkah laku di dalam sekolah, dengan harapan aturan tersebut
diinternalisasikan menjadi sebuah kebiasaan yang baik bagi para siswa. Untuk
itulah penerapan sistem poin sebagai cacatan perilaku peserta mulai digunakan
sebagai sebuah cara untuk menertibkan peserta didik yang “nakal” di lingkungan
sekolah. Namun siswa dalam menjalani peraturan di dasarkan dengan ketakutan
atas dampak yang di timbulkan jika pelanggaran tersebut dilakukan. Ketakutan
itu muncul karena ada dominasi kekuasaan yang dibentuk oleh sekolah-sekolah
dengan membentuk aturan-aturan yang seakan-akan membatasi gerak aktivitas yang
dilakukan oleh siswa di dalam kelas. Siswa dibuat patuh dengan aturan dan wajib
di internalisasi di dalam kehidupan sehari-hari dengan anggapan akan menjadi
seseorang yang “disiplin”. BK dijadikan sebuah lembaga dalam melenggangkan
kekuasaan sekolah terhadap siswa yang memiliki sifat untuk memaksa siswa dalam
menuruti apa yang diinginkan sekolah dalam menciptakan bentuk siswa yang
memiliki “karakter moral”. Sehingga sebenarnya siswa terhegemoni dengan
kekuasaan berdasarkan persetujuan yang terdapat di lingkup sekolah yang
menggiring terjadinya penindasan pihak sekolah terhadap siswa.
Merombak makna sebuah
aturan dan hukuman
Pada
dasarnya, aturan sangat efektif untuk membentuk siswa sesuai yang diinginkan.
Disini pelaksanaan sistem poin dilakukan agar memang siswa tidak melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang dianggap akan mendapatkan poin besar yang
menyebabkan siswa mendapatkan hukuman atau jangan sampai melakukan
pelanggaran-pelanggaran kecil yang berakibat fatal kemudian hari. Namun disini
cita-cita dari membentuk sebuah aturan itu untuk menciptakan siswa yang
memiliki karakter dan moral yang baik di dalam masyarakat. Dalam prakteknya,
guru harus bisa mencari cara agar dalam melakukan berbagai hal, siswa paham
akan dampak negatif dan positif yang akan dia terima. Bukan sebuah ketakutan
yang tercipta dari aturan yang dibuat dalam sekolah.
Aturan
bukanlah hal yang harus ditakuti oleh semua siswa yang ada di sekolah. Sekolah
adalah lembaga pembentuk siswa yang memiliki intelektualitas dan karakter yang
baik. Guru BK sebagai penegak aturan yang ada disekolah sebisa mungkin
memberikan penjelasan kepada para siswa tentang aturan-aturan yang ada didalam
sekolah. Bagaimana aturan itu berlangsung, dampak apa yang timbul ketika
melanggar aturan, dan manfaat apa yang ditimbulkan dengan mengikuti aturan yang
ada. Kemudian setiap masyarakat yang ada di sekolah harus di sama ratakan
dengan aturan-aturan yang berlangsung dalam masyarakat walaupun hukuman yang di
dapatkan berbeda. Setidaknya jangan sampai siswa merasa terdominasi terhadap
guru yang menjadi penegak peraturan. Apalagi ketika siswa dalam melaksanakan
peraturan tidak ada pemahaman tentang aturan itu sendiri, siswa hanya sebatas
“melaksanakan aturan” yang di perintahkan oleh siswa.
Kesimpulan
dan Saran
Peserta didik, sebagai individu yang di
bentuk untuk menjadi sebuah insan yang memiliki intelektualitas dan karakter
yang baik. Seharusnya harus bisa memahami semua tindakan yang dilakukan
sehari-hari. Kritik terhadap tindakan sosial didalam masyarakat penting
dilakukan agar memang peserta didik lebih paham dengan dampak dan manfaat
aktivitas yang dilakukan terhadap dirinya. Jangan sampai aturan membuat seorang
siswa menjadi terkekang dan terus membiarkan
kekuasaan yang terus berada di lingkungan sekolah. Makna sistem point tersebut untuk membuat siswa – siswa
tidak melanggar peraturan atau tidak melakukan pelanggaran yang sama untuk kedua
kalinya, tetapi dalam kasus di atas masih ada sekolah yang belum bisa
menjalankan sistem poin ini dengan efektif dan efisien.
Daftar
Pustaka
Ahmad D. Marimba. 1986. Pengantar Filsafat
Pendidikan Islam. Bandung: PT. A-Ma’arif.
Terimakasih artikel yg menarik. Bolehkah saya tahu jurnal mengenai ketidakefketivan sistem poin? Terimakasih.
BalasHapus