Tentang Sekolah #KKN2016

Sesuai dengan peraturan pemerintah, semua warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Maka dari itu banyak aturan-aturan di berbagai macam daerah yang mewajibkan anak-anak sekolah wajib 9 sampai 12 tahun. Pentingnya pendidikan bagi anak sangat di sadari oleh sebagian besar orang tua. Bagaimanapun sebagai orang tua, mereka akan mempersiapkan anak-anaknya menjadi seorang yang siap untuk terjun dalam lingkungan masyarakat. Mereka akan memberikan ilmu, keahlian dan juga keterampilan anak sesuai dengan proyeksi orang tua kepada anak. Pengetahuan tentang agama, Penguasaan bahasa asing, Keahlian melukis, bermain alat musik, atau keahlian-keahlian yang orang tua anggap sebagai bekal anak akan mereka berikan semuanya sesuai dengan kemampuan orang tua.

Kebutuhan akan pendidikan biasanya diterjemahkan oleh banyak orang tua dengan minimal memasukkan anaknya ke sekolah, baik dari tingkat SD, SMP, SMA bahkan sampai ke Universitas. Banyak orang tua berlomba-lomba untuk mencarikan tempat sekolah terbaik bagi anaknya agar kelak mereka mendapatkan sebuah kesuksesan di dalam lingkungan. Dengan semakin tingginya tingkat kualitas sekolah, orang tua akan berfikir mereka telah memberikan pendidikan yang terbaik bagi sang anak. Di indonesia sendiri, pendidikan formal menjadi sebuah syarat utama setiap individu untuk mendapatkan tempat di dalam masyarakat. Dengan mendapatkan sebuah gelar lulus dalam pendidikan formal, kita akan di citrakan sebagai orang yang dianggap “berpendidikan”. Karena semakin tinggi pendidikan, setiap individu akan mendapat poin plus ketika dia ingin mendapatkan sebuah pekerjaan, pendidikan pula yang membuat individu ditempatkan dalam jabatan-jabatan penting dalam sebuah perusahaan. Karena itulah wajar jika Orang tua sebagai penanggung jawab atas kehidupan anak akan memberikan tempat pendidikan yang terbaik bagi sang anak.

Karena penting itulah, praktis kehidupan anak dari umur 7 – 17 tahun dihabiskan di lingkungan sekolah. sekitar 5 – 7 jam sesuai dengan tingkat pendidikannya. Belum lagi jika ada beberapa anak yang sengaja di ikut sertakan dalam bimbingan belajar di luar jam sekolah menambah beban pendidikan bagi anak. Setelah semua kegiatan itu, biasanya anak masih di suruh untuk belajar dan mengerjakan tugas sekolah yang diberikan oleh guru. Dengan kondisi tersebut, apakah anak sangat membutuhkan semua aktivitas pendidikan di sekolah tersebut ?

Pertanyaan datang begitu saja ketika sedang melaksanakan tugas untuk membantu adik-adik belajar untuk persiapan sekolah. lantas dimanakah letak kesalahan pendidikan sekolah dan apa hubungannya dengan bimbingan belajar ?

Mungkin setiap mahasiswa yang sering memberikan belajar tambahan untuk siswa dalam berbagai tingkatan pendidikan paham akan satu kondisi. Dimana orang tua datang kepada lembaga atau individu yang menyediakan layanan belajar tambahan memiliki tujuan untuk meningkatkan atau memperbaiki nilai anaknya di sekolah, membuat anaknya mendapat peringkat bagus di sekolah dan bisa masuk sekolah tingkat lanjut yang lebih baik (setidaknya itu pengalaman). Bagaimana dengan anak? Saya menemukan beberapa anak dalam kegiatan bimbingan belajar Tim KKN yang menurut saya menarik. Ada beberapa anak yang memiliki kecenderungan mengikuti bimbel agar nilai PR (pekerjaan rumah) mereka mendapatkan nilai sempurna, sedikit dari mereka bahkan tidak perduli jawaban yang di dapat atau cara menemukannya. Ketika jawaban tersebut dirasa benar oleh kakak-kakak pengajar, maka itulah yang akan di tulis dalam jawaban. Bahkan ada beberapa anak SMP yang hampir tiap malam datang ke posko untuk menyelesaikan PR mereka. Salahkah tindakan mereka? Coba kita kesampingkan tindakan menyalahkan atau membenarkan suatu tindakan. Perilaku mereka sejatinya merupakan tekanan dari sistem, sistem yang meminta mereka belajar untuk mendapatkan peringkat berdasarkan angka, sistem yang menggiring mereka berlomba-lomba agar mendapat jurusan IPA, sistem yang memaksa mereka belajar praktis karena tuntutan mata pelajaran yang sangat banyak. Sepertinya, pendidikan sekolah berusaha untuk mengeneralisir semua siswa. Membentuk mereka agar mempunyai kemampuan yang sama, mencekoki siswa untuk belajar mata pelajaran yang dilabeli unggul. Kemudian menempatkan mereka pada tingkatan-tingkatan. Tindakan inilah yang menurut saya sebagai bentuk perilaku ‘bertahan hidup’ para siswa akan tetap selamat dalam kejamnya sistem pendidikan sekolah. mereka harus bertindak seefisien mungkin untuk mengurangi energi atau pikiran yang tidak perlu karena beban pendidikan, lama belajar, dan juga aktivitas-aktivitas belajar lain di luar jam sekolah. Jika kalian sadar, sistem juga yang membuat siswa melahap semua hidangan yang disediakan dan mereka tidak mempunyai banyak pilihan untuk itu. Siswa harus menghabiskan hidangan itu tanpa banyak tanya, bahkan tanpa mengerti untuk apa mereka makan. Orang tua malah memberikan posri tambahan agar anaknya lebih berbobot. Alih-alih menikmati, siswa justru malah menelan semua porsi tersebut tanpa menikmati, hambar. Ternyata, asupan tersebut tidak membuat mereka memiliki massa otot, malah membuat mereka tambun. Membuat mereka gemuk akan asupan ‘pengetahuan’ dan membuat mereka sulit untuk bergerak karena banyaknya asupan yang sudah mereka makan.

Jadi jangan heran jika nanti kalian menemukan banyak teman, saudara, bahkan anak sendiri bingung ketika memilih jurusan di SMA atau perguruan tinggi. Mereka cenderung tidak bisa melihat potensi pada diri mereka sendiri, tidak bisa mengkerucutkan kemampuan dan hal tragis dari semua itu adalah salah mengambil jurusan yang membuat mereka tidak maksimal dalam melaksanakan pendidikan. Pendidikan kita ibarat laboratorium, mereka ingin menciptakan monyet mutan yang memiliki semua kemampuan hewan yang ada di alam semesta.

Lantas haruskah kita tinggalkan sekolah? ya itu mungkin tapi terlalu radikal. Karena sekolah formal masih menjadi poros utama. Semua sektor membutuhkan pengakuan akan pendidikan yang sudah kalian dapat, yang diwakili oleh sertifikat, ijazah, dan surat-surat penting milik lembaga pendidikan formal maupun non formal. Memang ada yang tetap menjadi ‘orang yang antimainstrem’ dan sukses, tapi perbandingannya sangat jauh.

Setiap langkah yang kita pilih sebaiknya harus mengetahui tujuan yang akan dicapai dari pilihan tersebut. Sama seperti sekolah, sejatinya setiap siswa harus paham akan tujuan sekolah. Siswa memilih dengan sadar apa yang akan dia raih di dalam pembelajaran di sekolah, memilih jurusan sesuai dengan bimbingan guru dan bertanggung jawab akan pilihan yang sudah dibuat. Prestise harusnya bukan menjadi yang pertama yang dipikirkan oleh orang tua dalam mencarikan sekolah untuk anak. Tapi kebutuhan, minat, dan juga kemampuan anak dalam belajar. Ingat, sekolah sejatinya hanya satu dari banyak wadah yang digunakan untuk mendapatkan pendidikan yang dibutuhkan oleh setiap individu. Nah, disini kebijakan orang tua dalam menjaga, mengawasi, dan bertanggung jawab atas tindakan anaknya didalam sekolah merupakan salah satu aspek keberhasilan anak di dalam sekolah. karena sebagai tempat anak menghabiskan waktunya hampir 5-9 jam sehari, harusnya ada pengawasan menyeluruh baik dari guru dan orang tua. Guru dan Orang tua sebaiknya menjalin komunikasi intens tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh si anak. Banyaknya murid yang ada di sekolah membuat guru tidak bisa mengawasi perkembangan anak satu per satu, disinilah orang tua harus mengambil inisiatif pengawasan didalam dan diluar lingkungan sekolah. Anak di umur sekolah masih dalam fase pertumbuhan, pengawasan dengan cara benar akan membuat perkembangan fisik dan emosional anak terkendali. Sehingga orang tua tau, perubahan-perubahan apa yang terjadi kepada anak dalam arti baik ataupun buruk.

Selain itu, orang tua sebaiknya tidak menekan anak untuk mendapatkan prestasi akademik sesuai dengan versi orang tua. Biarlah anak menentukan apa yang menjadi pencapaiannya selama di sekolah. Anak dibebaskan dalam penentuan kegiatan, penentuan minat belajar, dan hal-hal yang ia lakukan di sekolah. hal tersebut membuat mereka belajar untuk menentukan pilihannya sesuai dengan pemikirannya sendiri dan nantinya anak akan bertanggung jawab dengan apapun yang menjadi pilihannya. Orang tua harus paham bahwa setiap anak memiliki keistimewaannya masing-masing. Dia bisa hebat dalam satu bidang dan payah dalam bidang lain, pemahaman orang tua akan potensi anak akan menjadi poin penting. Jangan sekali-kali menganggap anak bodoh hanya karena tidak bisa matematika. Merendahkan anak tentang ketidakbisaannya akan suatu hal bisa membuatnya rendah diri dan menganggap dirinya benar-benar bodoh hanya karena stereotipe tentang pintar itu harus bisa matematika. Buatlah dia nyaman atas apa yang dia lakukan, dorong mereka untuk membuat dan meraih pencapaian-pencapaian yang realisitis dan bisa didapat disekolah.

Terakhir, orang tua harus sadar akan batasan anak. Anak bukan robot yang bisa melakukan semua hal yang sudah di programkan tanpa henti. Mereka memiliki batasan tenaga dan pikiran yang harus diistirahatkan sewaktu-waktu. Pemaksaan bukan solusi yang baik buat anak.

Memang anak harus mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan. Sekolah merupakan wadah bagi anak untuk mendapatan haknya. Tapi sebenarnya anak juga harus mendapatkan space untuk memilih apa yang terbaik buat mereka. Sekolah sudah memberikan beban akademik yang berat kepada anak. Jangan membuat beban anak tambah berat dengan stereotipe tentang kecerdasan. Hidup itu tidak hanya tentang belajar disekolah. Ingat semua anak itu jenius, tapi tidak untuk semua hal. Biarkan anak mengeksplore kemampuannya, menekuni bakat dan minatnya. Dukungan orang tua layak didapatkan anak, karena orang tua adalah pondasi sang anak. J


Kamis, 11 Agustus 2016  
Desa Karangtalun Kab. Blora

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar