Tentang Makan

Dok. Pribadi
Kebahagian paling indah bagi seorang anak perantauan tidak lain ialah pulang ke kampung halaman. Kewajiban menuntut ilmu membuat aku harus menetap sementara, disebuah kota kaya akan budaya di daerah jawa tengah. Sebuah kota dengan slogan “spirit of java” dengan segala keramahannya dan dengan segala hal itu menjadikan kota yang lekat dihati.
Pengalaman menjadi anak rantau menjadi sebuah kisah yang tertulis dalam hati, tertulis indah agar nantinya kisah tersebut menjadi bukti bahwa saya pernah menjadi bagian dari kota itu, juga menjadikannya tempat dalam berproses. Dan jika sesuai 4 tahun adalah jadwal normal lamanya seorang mahasiswa menempuh jenjang pendidikan S1nya, tahun ini menjadi tahun terakhirku bisa menyelesaikan pendidikan. Yaps tiga tahun (lebih sedikit) aku keluar rumah, tinggal di sebuah ruangan petak 3x2 meter, untuk menyelesaikan apa yang menjadi pilihanku. Namun, tepat seminggu sudah kota perjuangan itu ditinggalkan, menikmati kegiatan lain di kampung halaman. Melakukan sesuatu yang jarang bisa dilakukan, apalagi kalo bukan perbaikan gizi hehe J

Sebuah awal yang sulit untuk orang yang biasa dalam kemudahan untuk mencapai suatu hal, semua tersedia di depan mata. Maka dari itu, pulang kampung bagi kebanyakan mahasiswa bisa jadi moment yang berharga sebagai bentuk untuk memanjakan diri, apalagi soal makanan. Sebenarnya, buat orang yang memliki hobi unik yaitu makan. Solo menawarkan banyak macam kuliner yang bisa kita coba sesuai dengan selera ataupun makanan yang kita senangi. Beberapa makanan khas memiliki cita rasa manis dan gurih yang tentunya berbeda dengan cita rasa tetangganya jogja. Apalagi buat orang yang tidak suka dengan rasa pedas mungkin beberapa menu bisa cocok dengan lidah dan perut.
Meskipun begitu, beberapa dari kalian ketika memilih makanan di sini harus lebih selektif dan jeli dalam melihat papan petunjuk tentang informasi apa yang dijajakan warung makan tersebut. Karena buat beberapa orang yang tidak terbiasa melihat warung dengan tulisan “ong” yang baru beberapa waktu kemudian saya tahu itu berarti Babi. Yaps, solo dengan warga non muslimnya sekitar 20% yang mana mereka biasa makan sesuatu yang menurut kita haram. Di beberapa sudut juga bisa kita lihat jelas warung yang menjual daging “ong” atau “guguk” dan hal tersebut menjadi hal baru buat saya melihat warung-warung itu tersebar bebas di sudut kota.
Disamping itu semua, bersyukur menjadi hal yang patut dilakukan karena proses adaptasi yang cukup mudah bagi saya untuk menikmati banyak kuliner asli dari tempat perantauan. Apalagi beberapa tempat yang oke untuk berkumpul dengan beberapa kawan sambil berceloteh tentang lucunya hidup. Rindu dengan solo tapi masih senang berada di kampung halaman. Jadi kapan kita bisa berjumpa, menikmati hidangan sambil bercengkrama di langit malam kota solo ??
 .
.
Kampung Halaman
Depok 23 Januari 2017

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar