Bayang Yang Takkan Mampu Kau Buang
KALAU
orang berkata cinta itu membutuhkan pengorbanan, aku hanya ingin berkata kalau
cinta itu membutuhkan ketulusan. Suatu perasaan terdalam yang takkan dapat
memisahkan kesungguhan hatiku untuk kau miliki. Sekalipun hatiku bukanlah yang
terpilih untuk memberikan rona romansa di hatimu, namun aku tetap tidak mau
memisahkan kecintaanku yang besar ini dari kehidupanmu.
Aku
mengenalmu di dasar kesadaran penuh kalau aku sungguh menyukaimu. Hal ini mulai
terjadi di pesta perayaan perusahaan kita tempo lalu, saat itu kau datang
dengan kekasihmu yang selama ini selalu membuatku penasaran. Hampir setiap
hari, kau ceritakan dia saat di kantor. Wajar kalu hari-hari yang kulalui
selama ini selalu dirundung cmburu yang menekan. Aku diam, hanya mencoba untuk
tahu lebih dan lebih lagi mengenainya dengan mendengarkan ceritamu.
Namun
saat aku melihat kekasihmu di pesta perusahaan setahun yang lalu, ternyata aku
mengenalnya. Dia teman satu angkatanku di masa aku kuliah dulu, kau memanggilnya
dengan nama Richie, sedang aku mengenalinya dengan nama Rico. Pantas saja aku
tidak pernah menyangka kalau yang menjadi kekasihmu adalah sahabatku sendiri.
Perawakan Rico yang dulu dengan yang
sekarang tidak berbeda sama sekali. Dia tetap tampan, tetap gagah, dan tetap
nampak elit, juga terhormat. Mungkin yang membedakannya dengan dulu hanyalah
badannya yang kini lebih berisi. Serius, aku tidak pernah menyangka kalau
pangeran yang berhasil memberikan pesonanya dan menarik hatimu adalah dia.
Hubunganku
dengan dia bisa dibilang cukup baik. Sangat baik malahan. Sekalipun aku dan dia
beda jurusan, namun kami sering bertemu dalam organisasi kemahasiswaan yang
kupimpin. Saat itu dia menjabat sebagai wakilku. Jelas sekali kan kalau aku
memiliki hubungan yang sangat dekat dengannya? Sebagai wakil, dia mampu
membantuku memberikan masukan ide maupun solusi jalan keluar atas permasalahan
organisasi yang kupimpin itu. Dia cakap dalam bidang kepemimpinan. Dia bisa
membuat para pengurus dan anggota lainnya bergerak dalam mendisiplinkan dan
keteraturan yang dia ciptakan hingga menghasilkan buah yang benar dan sukses.
Aku heran, mengapa dulu bukan dia saja yang menjadi ketua dan aku wakilnya ?!
saat kutanyakan itu padanya di suatu kegiatan kampus, dia hanya berkata
sekalipun dia cakap dalam memimpin, namun menurutnya aku lebih cakap dalam
mengambil keputusan. Dan tiga tahun masa jabatan yang kumiliki dengannya itulah
yang akhirnya membuat hubungan kami menjadi semakin erat. Aku menganggapnya
sebagai adikku sendiri.
Dan
kini kau memilikinnya sebagai harta terbaik yang selalu kau jaga dan banggakan.
Akupun tak merasakan suatu cemburu apapun setelah mengetahui siapa lelaki yang
akan membahagiakan dan memuliakanmu sebagai seorang istri dan ibu kelak, Rico
memang tipikal laki-laki yang pantas untuk bersanding denganmu. Dia memiliki
segalanya. Batin dan sikapnya menampakkan kelelakian yang menuju sempurna.
Secara tutur kata , dia santun, secara tingkah laku, dia sopan. Secara
penampilan, tidak perlu diragukan lagi, dia tampan dan menawan. Bisa aku tebak,
pasti banyak perempuan yang cemburu padamu kan ?
Makan
siang kali ini, kau mengajakku untuk mampir ke café seberang kantor. Kutanyakan
dengan siapa saja kita akan makan siang, dan kau jawab hanya kau dan aku saja.
“Mengapa tidak mengajak teman-teman lainnya ?
”
“Memang
sengaja tidak mengajak mereka. Hanya ingin berdua denganmu. Ada apa, kau
keberatan ? “
Ekspresimu
telihat aneh, tidak seperti biasanya kulihat yang seperti ini. Tapi id untuk makan
berdua denganmu tentu tidak akan aku tolak. Saat-saat seperti ini yang selalu
kunantikan setiap hari, bisa berdua denganmu, walau dengan batas sebagai teman
saja. Aku rasa ini lebih dari cukup.
“Yasudah terserah padamu saja.” Balasku
dengan senyum terbaik yang kupersembahkan untukmu.
Aku
dan kau berjalan berdua keluar dari gedung kantor. Kau berjalan tepat di sisi
kiriku. Menggandeng lenganku untuk meminta perlindungan menyebrang. Jangan
khawatir sayang, aku akan senantiasa melindungimu setiap saat. Kau sadari
maupun tidak.
Beberapa
saat kita sampai di café seberang kantor. Kau memilih untuk tidak makan dan
hanya memesan jus apel, sedang aku memesan seporsi pancake kesukaanmu dan es
cappuccino, itu juga kesukaanmu. Sengaja kepesan, bukan untuk memuaskan lapar
dan dahagaku, namun untukmu. Seandainya kau berkenan.
Beberapa
saat kemudian, pesanan datang. Kuminta kau untuk mencicipi terlebih dahulu
pancake strawberry dan es cappuccino yang kupesan.
“Mengapa harus aku yang mencicipnya?”
”Karena aku sudah terbiasa makan sisa makanan
saat bersama dengan Rico dulu, Sekarang giliranmu …” Jawabku beralibi
“Hahaha, Richie dulu makannya banyak ya?”
“Sampai sekarang masih banyak kan? Terbukti
badannya makin berisi …” Tambahku berusaha menyemarakkan suasana makan
siangmu. Kau tersenyum
“Enak lho pancakenya …” Ucapmu dengan
senyum yang begitu menggiurkan
“Yasudah, habiskan saja kalau begitu”
“Ish, mengapa begitu? Kan kau yang
memesannya, kau juga dong yang menghabiskannya , tugasku kan hanya mencicipi
saja …”
“Sudah kau makan saja. Aku sudah makan mie
goreng buatan Bu Irma sesaat sebelum istirahat tadi …”
“Tapi kan yang memesan makanannya kau,
mengapa harus aku yang bertanggung jawab menghabiskannya?”
“Biar badanmu tidak kalah berisi dengan Rico
…”
“Hahaha dasar kamu yah …”
Kau
tersenyum, sembari melanjutkan. Menyantap pancake yang dengan jujur hari
sengaja kupesankan untukmu.
Sambil
melihatmu yang sedang asik menyantap makanan, kutanyakan padamu mengapa siang
ini kau hanya ingin makan berdua denganku. Jawabmu, kau ingin berbicara Rico
alias Richie denganku. Kau anggap aku sahabat baik dari calon suamimu itu dan
kau mempercayaiku.
Oh,
seandainya aku bukan seorang yang menjadi sahabat baik kekasihmu, masih sudikah
kau duduk berdua di siang yang terik ini bersama denganku? Ya Tuhan, terima
kasih karena aku mengenal calon suami dari perempuan yang kucintai. Seminimal
aku masih bisa memiliki waktu yang intim dengannya, sekalipun itu untuk
membicarakan lelaki lain. Tak apalah, terbukti takdir tak pernah benar-benar
kejam. Disaat aku tahu aku sudah kehilangan harapan untuk mendapatkanmu aku
masih memiliki harapan untuk menjadi sahabatmu.
“ Jadi, apa yang mau kau tanyakan tentang
Rico padaku?”
“Uhhmmm, apa yah? Aku juga bingung
sebenarnya,” jawabmu sambil senyum manis, sangat manis. Hingga aku tidak
memerlukan tambahan gula untuk memaniskan cuppicinoku.
“Hehehe, dasar kau itu. Kapan rencana kalian
akan menikah?”
“Itu dia yang masih belum tahu, aku masih
belum yakin apakah akan menikah dengannya atau tidak.” Jawaban perempuan
tercintaku ini menghentak jantung dan otakku. Aku kaget, tidak menduga kalau
kau masih tidak yakin dengan Rico sebagai pendamping hidupmu. Ah, apakah ini
kesempatan bagiku untuk mengambil hatimu yang belum utuh untuk sahabatku itu?
namun selama ini tidak pernah kurasakan suatu getaran emosi yang kau tunjukan
saat bersama dengan ku. Kau terlihat selalu datar saja saat tengah bersamaku.
Aku tidak yakin kalau kau memiliki sebuah perasaan untukku sebagai lelaki,
sekalipun itu sedikit. Aku selalu merasa kau hanya memiliki perasaan untukku
sebagai teman, seorang sahabat, seorang abang. Tidak lebih dari itu, dan aku.
Sekalipun aku sangat mencintaimu, aku tidak pernah kau memaksamu untuk
mencintaiku, lebih dari segalanya. Aku hanya ingin kau bahagia, denganku atau
tanpaku.
“Maksudmu belum yakin apa? Apa yang membuatmu
masih meragukannya? Dia itu lelaki yang lebih dari cukup. Semuanya, tidak hanya
materi dan kekayaannnya, tidak hanya ketampanan dan kemenawanannya. Tidak hanya
budi dan pekertinya. Dia lelaki yang nyaris sempurna. Jika kau saja yang
seorang lelaki bisa mengatakan demikian, aku yakin perempuan sepertimu bisa
mengatakan lebih dari yang kukatakan”
“Iya, kau memang benar. Dia lelaki yang
nyaris sempurna. Aku tahu itu, bahkan sangat tahu, aku bisa merasakannya dari
sikap dan perangainya selama ini padaku dan orang-orang disekitarku,”
“Lantas apa yang masih membuatmu ragu?”
“Aku hanya ragu kalau-kalau aku bukanlah
perempuan yang tepat untuknya. Masalah bukan pada dia tapi pada diriku. Aku
takut tidak dapat menyeimbangi kesempurnaannya. Takut akan membuat
pencitraannya yang selama ini bak menjadi luntur karena memiliki istri
sepertiku,”
”Demi apapun yang ada di dunia ini, aku mohon
jangan berkata demikian, Rico hanya lelaki yang nyaris sempurna, bukan
sempurna. Jangan pernah menorehkan predikat sempurna pada manusia manapun di
dunia ii, tidak ada satupun selain Tuhan sendiri. Kau tidak boleh merendahkan
dirimu Des. Mustinya sekarang kau bersyukur hidup bersama Rico, kalian memang
diciptakan untuk bersama. Untuk menjadi pasangan yang ideal yang tuhan ciptakan
untuk menjadi kepanjangan tanganNya memberi kebahagiaan bagi orang lain. Kalian
pasangan yang hebat, sejauh yang pernah aku temui?” Jantungku merasa
tertusuk petuahku sendiri untukmu. Seakan berkhianat kepada hati nurani yang
sebenarnya sangat menginginkanmu.
“Uhmm, begitu ya Tem? Jadi menurutmu aku
harus bagaimana sekarang?”
“Tetap yakin pada hubungan kalian. Tetap
yakin dengan Rico, juga dengan dirimu sendiri. Buat perencanaan untuk masa
depan kalian dengan menikah dan berbahagialah …” Aku semakin berkhianat
dengan nuraniku.
Belum
tepat jarum jam menunjuk ke angka lima, ponselku berdering, dan itu dari
sahabatku. Rico meminta waktuku untuk diluangkan bersama dengannya malam ini
sepulang kantor.
“Tolong jangan sampai Desti tahu kalau kau
pergi dengaku ya bang.”Pinta Rico mewanti-wanti
“Oke..” Balasku setengah segan karena
Rico memintaku untuk main belakang tanpa sepengetahuanmu. Sebenarnya aku tidak
ingin menutup-nutupi kepergianku dengan Rico ini darimu. Namun apalah boleh
buat, aku tidak bisa menolaknya. Lagipula aku penasaran, mengapa tiba-tiba dia
ingin bertemu denganku tanpa sepengetahuanmu. Sudahlah, coba kuladeni dulu
saja.
Malamnya
aku benar bertemu dengan Rico di sebuah kedai kopi dekat kantornya. Dia sudah
menunggu sekitar seperempat jam yang lalu. Itu pengakuannya saat aku tiba dan
menanyakan sudah dari kapan menungguku.
“Oke , apa yang ingin kau bicarakan denganku?”
Tanyaku tanpa basa-basi.
“Aku ingin bang Temmy jawab dengan jujur”
“Uhmm.. mengapa air mukamu terlihat begitu
serius?”
“Ah, tidak ada apa-apa bang, ini hanya efek letih
dengan pekerjaan saja. Tapi yang ingin kutanyakan pada Abang memang sesuatu
yang serius dan aku harap abang mau menjawabnya dengan jujur.”
“Uhmm.. okelah apa itu?”
“Abang menyayangiku kan?”
“Iya aku menyayangimu.”
“Abang juga menyayangi Desti?”
“Iya aku juga menyayanginya. Aku sayang pada
alian berdua. Kalian sudah aku anggap sebagai adikku sendiri, kau tahu itu kan
Ric?”
“Tidak Bang, aku tidak tahu!” Wajah Rico
terlihat semakin serius, tidak sedap dipandang mata!
“Maksudmu apa Ric? Apa yang terjadi padamu?”
“Abang cinta dengan Desti?” Intonasinya
semakin menggertak.
“Hah?!” Aku terperangah.
“Abang cinta kan dengan Desti?” Tambahnya
menggeretak.
“Ric, kamu apa-apaan sih? Kau mabuk?”
“Ada yang memberitahuku kalau Abang cinta
pada Desti”
“Siapa yang memberitahu?”
“Surat ini…” Rico mengulurkan tangannya,
memberikan surat yang dia maksudkan padaku. Ya tuhan, bagaimana mungkin bisa
surat ini ada padanya? Sekilas aku pura-pura baca untuk tidak membuat akses
yang mencurigakan dihadapan Rico.
“Ini bukan surat milikku. Mengapa kau
menduhkan padaku?”
“Karena aku menemukannya di buku yang abang
pinjamkan”
“Oh, buku itu. itu bukan bukuku, itu buku
temanku. Nama pacar temanku sama dengan Desti. Sudahlah Ric, kau jangan
berpikir macam-macam. Tinggal seminggu lagi kau dan Desti mengikat janji suci.
Tolong kau fokus saja dengan pernikahan kalian besok itu. jangan kau rusak
dengan kecurigaanmu.”
“Abang tidak membohongiku kan ?”
“Heii, sekarang aku tanya. Sudah beraa lama
kita kenal?”
“Hampir sembilan tahun.”
“Dalam waktu sembilan tahun itu, berapa kali
aku pernah berbohong padamu?”
“uhmmmm….”
“Berapa Ric?!”
“Tidak pernah. Abang tidak pernah berbohong
padaku. Abang selalu baik padaku. Abang selalu mendukungku. Bahkan jika aku
bisa sampai di diriku yang sekarang ini, itu semua berkat abang. Dulu aku bukan
apa-apa dan bukan siapa-siapa, tapi Abang yang membuatku menjadi berharga
seperti saat ini. jika bukan abang yang membantuku berjuang meraih beasiswa itu
aku tidak yakin akan menjadi orang sukses seperti sekarang ini. maafkan aku
Bang …” Rico mengisak terharu sambil memelukku dan meminta maaf atas
tuduhan yang diberikannya kepadaku.
Dan
datanglah hari ini. Satu hari dimana malaikat-malaikat disurga berkumpul
menyanyikan lagu-lagu surgawi untuk mengiring kalian mengikat janji suci. Rico
terlihat tampan, dan tentunya kau terlihat sangat manis dan anggun dengan gaun
putih panjangmu. Kerupaan kalian menunjukkan suatu sukacita besar yang membuat
hatiku ingin menangis. Antara terharu dan kehilangan. Sudahlah, toh aku sudah
berujar, lebih dari segalanya aku hanya ingin kau bahagia. Entah denganku
maupun tanpaku. Berbahagialah.
.
Sumber : Memotret
Perempuan (Hapie Joseph Aloysia)
0 komentar:
Posting Komentar